Rabu, 10 November 2010

Izroil as. Mencabut Ruh & Membawanya ke hadirat Allah SWT


Nabi Muhammad SAW bertanya, “Katakanlah padaku bagaimana kau mencabut ruh orang sekarat?”

Malaikat maut yaitu Izroil a.s. mengungkapkannya pada Nabi SAW: “Ketika Allah memerintahkan aku untuk mencabut ruh manusia di saat terakhir hidupnya dan disaat pertama kehidupan abadinya, aku mengirimkan kepadanya wakilku untuk membawa serta wewangian surga dan sebatang pohon surga yang mereka letakan diantara matanya. Ketika aroma harum itu sampai kepadanya dan ia menangkap dalam sekejap cabang surgawi, ruhnya tertarik dan jiwanya mulai naik ke surga, hingga ia mencapai tenggorokannya. Di saat itu, aku turun dari tempatku dan mencabut ruhnya dengan cara yang paling hebat, karena Allah menginginkan saat itu untuk memudahkan hamba-Nya. Lalu aku membawa jiwanya kesurga.

Di jalan, dimanapun aku dilewati malaikat, mereka akan menyalami jiwa ini dan memberi hormat hingga ia mencapai ke hadirat Tuhannya, Allah Yang Maha Mulia berkata pada jiwa itu saat itu juga, ‘Selamat datang jiwa yang baik yang AKU ciptakan dan ditempatkan dalam tubuh yang baik. Hai para malaikat-KU, tulis diatas lapisan surga sebagai ganjaran untuk orang itu.

Lalu para malaikat membawanya ke surga, tempat melihat apa-apa yang telah Allah siapkan baginya dan ia akan tinggal dan bahagia disana.

Bagaimanapun juga, Allah SWT memerintahkan ruh-ruh untuk kembali ke tubuhnya di bumi, dimana ia bisa melihat bagaimana orang-orang memandikannya, menangisinya, dan semua mereka yang mencintainya berdiri disekelilingnya hingga mereka membawa tubuhnya ke kuburan.

Disana tanah berkata padanya, Selamat datang, wahai yang tercinta. Aku selalu merindukanmu ketika kau berada diatasku. Kini kau ada didalam diriku dan aku akan menunjukan padamu apa yang akan berikan padamu’. 

Segera, kuburnya akan diperluas melebihi jasadnya, hingga malaikat penjaga kubur datang menanyai tentang Tuhannya dan imannya. Ia akan memberikan jawaban yang tepat atas izin Allah. Saat itu mereka akan membukakan baginya pintu menuju surga dan ruhnya akan kembali ke atas ke tempat yang sama tempat Allah pertama kali memanggilnya ke hadirat-Nya.”

Aku ingat akan maut yang kelak memisahkan kita.
Aku menghibur diriku, berfikir tentang Nabi Muhammad SAW tercinta.
Aku berkata; Kita semua akan menapaki jalan ini suatu hari nanti.
Yang tidak mati hari ini, ia akan mati esok hari.
Bahagialah, hai jiwaku, karena Tuhanmu menantikanmu.
Dan seseorang yang tercinta memanggilmu.


Jumat, 05 November 2010

Bercermin Diri

Tatkala kudatangi sebuah cermin, tampaklah sosok yang sudah sangat lama kukenal dan sangat sering kulihat. Namun aneh, sesungguhnya aku belum mengenal siapa yang kulihat.

Tatkala kutatap wajah, hatiku bertanya : Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya dan bersinar indah di surga sana? Ataukah wajah ini yang hangus legam di neraka jahanam?

Tatkala kumetatap mata, nanar hatiku bertanya : Mata inikah yang akan menatap Allah, Rasulullah, dan kekasih-kekasih Allah kelak? Ataukah mata ini yang terbeliak, melotot, terburai menatap neraka jahanam? Apakah mata penuh maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata, apa gerangan yang kau tatap selama ini?

Tatkala kutatap mulut, apakah mulut ini yang kelak mendesah penuh kerinduan mengucap Laa Ilaaha Illallaah saat malaikat maut datang menjemput? Ataukah menjadi mulut yang menganga dengan lidah menjulur, dengan lengkingan jerit pilu yang akan mencopot sendi-sendi setiap yang mendengar? Ataukah mulut ini jadi pemakan buah zaqun jahanam yang getir, penghangus dan penghancur setiap usus? Apakah gerangan yang engkau ucapkan wahai mulut yang malang? Berapa banyak dusta yang engkau ucapkan? Berapa banyak hati yang remuk dengan sayatan pisau kata-katamu yang mengiris tajam? Berapa banyak kata-kata semanis madu yang palsu yang engkau ucapkan untuk menipu? Berapa sering engkau berkata jujur? Berapa langkanya engkau dengan syahdu memohon agar Allah mengampunimu?

Tatkala kutatap tubuhku, apakah tubuh ini yang kelak menyala penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkerama di surga? Ataukah tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih dalam lahar neraka jahanam, terpasung tanpa ampun, menderita yang tak akan pernah berakhir? Wahai tubuh, berapa banyak maksiat yang telah engkau lakukan? Barapa banyak orang-orang yang engkau zalimi dengan tubuhmu? Berapa banyak hamba-hamba Allah yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu? Berapa banyak perindu pertolongan yang engkau acuhkan tanpa peduli, padahal engkau mampu? Berapa banyak hak-hak yang engkau rampas?

Ketika kutatap hai tubuh, seperti apakah gerangan ini hatimu? Apakah ini hatimu sebagus kata-katamu, ataukah sekotor daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu, ataukah selemah daun-daun yang sudah rontok? Apakah hatimu seindah penampilanmu, ataukah sebusuk kotoran-kotoranmu?

Betapa beda... betapa beda apa yang tampak di cermin dengan apa yang tersembunyi.
Aku telah tertipu oleh topeng yang selama ini tampak.
Betapa banyak pujian yang terhampar, hanyalah untuk memuji topeng.
Sedangkan aku... hanyalah seonggok sampah yang terbungkus.
Aku tertipu... aku malu pada-Mu, ya Allah.
Ya Allah... selamatkanlah aku...
Amin ya Rabbal ’alamin



Aa Gym



Kamis, 04 November 2010

Qana'ah - Sifat Mulia Yang Harus Di Miliki Para Istri

Sikap qana'ah atau menerima apa adanya (nrimo) pada masalah kebendaan (duniawi) dalam kehidupan suami istri sangat dibutuhkan.  Terutama bagi seorang istri tanpa adanya sifat qana'ah maka bisa dibayangkan bagaimana susahnya seorang suami. Setiap tiba dirumah maka yang terdengar adalah keluhan-keluhan, belum punya ini, belum punya itu, ingin beli perhiasan, pakaian baru, sepatu baru, jilbab baru, perkakas rumah tangga, furniture, dan lain-lainnya.

Apabila sang suami tidak memiliki banyak harta maka yang terjadi adalah pertengkaran dan perselisihan, melihat kedudukan suami dengan sebelah mata karena gaji yang kecil. Terkadang keluar keluhan, “Bila si Fulan bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar mengapa engkau tidak?!”  Sehingga impian membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrahmah semakin jauh. Hati menjadi resah dan gundah lalu hilanglah rasa syukur, baik kepada suami maupun kepada Allah. Bila hal ini sudah menimpa pada seorang istri maka waspadalah ya ukhti ... sesungguhnya engkau telah membebani suamimu diluar kemampuannya.

Engkau telah membuatnya terlalu sibuk dengan dunia untuk memenuhi segala keinginanmu. Berapa banyak kaum suami yang meninggalkan majelis ilmu syar'i demi mengejar uang lemburan? Sebelum menikah rajin datang ke majelis-majelis ilmu namun setelah menikah jarang terlihat lagi, mungkin tadinya datang setiap minggu sekarang frekuensinya menjadi sebulan dua kali atau sekali bahkan mungkin tidak pernah datang lagi! Atau berapa banyak kaum suami yang rela menempuh jalan yang diharamkan Allah Ta'ala demi membahagiakan sang istri tercinta. Yang terakhir ini banyak ditempuh oleh para suami yang minim sekali ilmu agamanya sehingga demi ''senyuman sang istri'', ia rela menempuh jalan yang dimurkai Allah Ta’ala. Wal'iyyadzu billah.



Duhai, para istri ... engkau adalah sebaik-baik perhiasan diatas muka bumi ini. Bila engkau memahami dienmu, maka jadilah wanita dan istri yang shalihah, dan itu semua bisa dicapai bila engkau mampu mengendalikan hawa nafsumu, bergaul dengan kawan-kawan yang shalihah dan berilmu, tutuplah telingamu bila engkau mendengar ha-hal yang menarikmu ke sisi keduniawian/ghibah/fitnah, serta tutuplah matamu bila engkau melihat sesuatu yang tidak mungkin bisa engkau raih, lihatlah ke bawah masih banyak yang lebih menderita dan lebih miskin hidupnya dibandingkan engkau. Maka akan kau temui dirimu menjadi orang yang mudah mensyukuri nikmat-Nya, mensyukuri atas segala sesuatu yang engkau dapatkan dan engkau miliki.

Sifat qana'ah ibarat mutiara yang terpendam di bawah laut, barangsiapa yang bisa mengambilnya dan memilikinya maka beruntunglah ia. Seorang istri yang memiliki sifat qana'ah ini akan dapat membawa ketentraman dan kedamaian dalam rumah tangganya. Suami merasa sejuk berdampingan denganmu, rasanya ia akan enggan menjauh darimu.

Betapa bahagianya para suami yang memiliki istri yang qana'ah, para istri bisa memiliki sifat ini bila ia mau berusaha sekuat tenaga dan berdo'a kepada Allah semata. Ya, Allah janganlah kau jadikan dunia satu-satunya keinginan utama kami, amin. Wallahu'alam bishawwab.

Ummu Raihanah

Senin, 01 November 2010

Makna Kehidupan


"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan oleh-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS At Taubah [9]:105)

Dalam setiap perjalanan pulang melewati sebuah jalan yang sama pada waktu yang sama pula, terlihat oleh hamba itu seorang bapak tua yang sedang menarik gerobak sampah. Salah satu kakinya sedikit cacat yang mengakibatkan ia harus berjalan tertatih-tatih. Dengan wajah yang tegar, ia berjalan sambil sesekali menyeka peluh yang membasahi wajahnya. Sesekali waktu, hamba itu berhenti sekedar ingin memberikan sejumput sedeqah kepadanya. Pak tua tersebut tersenyum dan memuji Rabb-nya Yang Maha Agung sambil merapatkan tangannya untuk berdoa.

Ia mengungkapkan betapa bersyukurnya dirinya. Ia masih dapat bekerja sebagai pemulung dan menghidupi keluarganya. Tak ada kata-kata "Walaupun Tidak Cukup" yang keluar dari lisannya. Ia seolah amat menikmati pekerjaannya itu. Kakinya terkena polio sejak kecil dan dengan kondisi itu ia tetap melangkahkan kakinya di jalanan Jakarta yang kadang begitu ganas dan tanpa kompromi bagi seorang pemulung seperti dirinya. Sepeda motor, bus kota ataupun mobil orang-orang berpunya, bisa saja menyambarnya sewaktu-waktu dan jika itu terjadi, maka harapan istri dan anak-anaknya untuk memperoleh nafkah melalui dirinya akan pudar seketika.

Kadang kita bertanya pada diri sendiri, sejauh apa kebahagian hidup itu dapat kita rasakan? Apakah ketika semua kebutuhan kita terpenuhi? Atau apakah saat semua keinginan kita sudah dapat diperoleh? Harta dan kekuasaan? Ataukah ketika kita dapat membahagiakan orang-orang yang kita sayangi? Terutama orang tua kita? Keluarga kita? Ataukah juga ketika kita dapat membantu orang lain disaat yang sempit ataupun lapang?

Setiap diri kita ingin selalu mengejar kebahagian hidup dengan versinya masing-masing. Ada yang merasa berhasil dan hidup sangat mapan untuk kemudian menjadi bosan dengan kehidupan itu sendiri. Ada yang terus mengejarnya tanpa pernah merasa berhasil bagai sebuah perlombaan lari yang tidak pernah mencapai garis akhir. Melelahkan dan akhirnya kehilangan kepercayaan diri. Tapi ada yang amat menarik, ketika seorang hamba merasa bahwa tempat hidupnya di dunia ini hanyalah sebuah proses seperti roda yang berputar. Kadang ada di bawah dan kadang ada di atas. Sebuah kehidupan yang sementara dan ia hanya menilai dari apa yang telah ia diperbuat dan bukan apa yang ia dapatkan. Niat selalu ia luruskan dan ikhtiar (proses) selalu ia sandarkan kepada Rabb-nya Yang Maha Agung. Ketika hasil yang ia peroleh melebihi apa yang ia angankan, ia bersyukur dan ketika hasil tidak sesuai dengan yang ia harapkan ia bersabar.

Seorang teman pernah bertanya, "Kenapa harus ada hisab kelak di akhirat? Bukankah Allah Maha Tahu apa yang telah kita lakukan?" Bukankah lebih baik bagi Allah untuk langsung memasukkan kita ke dalam surga atau neraka saja?" Hamba itu memberi penjelasan kepadanya dengan sebuah hadis Qudsi, "Janganlah engkau pernah bertanya apa yang Allah Perbuat" (HR Bukhari).

Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada yang bertanya, Hamba itu hanya memberi ilustrasi bahwa umur yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada kita adalah ibarat gelas. Amal sholeh adalah ibarat air putih dan murni yang kita isi ke dalam gelas tersebut, sedangkan perbuatan dosa ibarat kotoran yang dapat mengeruhkan air yang ada digelas itu. Kelak di hari perhitungan (hisab), Allah Azza wa Jalla akan mempertontonkan kepada kita seberapa banyak gelas itu kita isi dengan air putih dan murni. Dan seberapa banyak kotoran yang membuatnya menjadi keruh. Bagi sebagian orang bukanlah lagi keruh yang didapatnya, melainkan kepekatan yang menjadikan gelasnya hanya berisi lumpur dengan air yang telah mengering.

Seseorang yang selalu mengisi gelas kehidupannya dengan air yang murni akan mengikis dan mengeluarkan segala kotoran yang pernah ada dalam gelas tersebut. Alangkah indahnya ketika kelak di hari perhitungan (hisab), kita melihat gelas kehidupan kita terisi oleh air yang bersih yang telihat amat menyenangkan mata. Hamba itu kembali berpesan kepada temannya, "Percayalah, hidup ini adalah proses. Kita bukan dinilai dari apa yang kita dapatkan atau apa yang luput dari kita, tetapi kita akan diminta pertanggungjawaban bagaimana kita melalui kehidupan ini."

Lebih dari tiga bulan sudah berlalu, hamba itu tidak pernah lagi melihat Bapak tua yang menarik gerobak sampah itu. Pada jalan yang sama dan pada waktu yang sama pula, wajahnya yang teduh tak pernah lagi terlihat. Kadang hamba itu harus memutar ke jalan yang sama dua sampai tiga kali. Tidak tahu kemana harus mencarinya dan kepada siapa harus bertanya tentangnya. Akhirnya hanya lantunan doa yang dapat hamba itu panjatkan, "Ya Rabb, Engkau telah mengajarkanku melalui seorang hamba-Mu yang amat sangat sederhana tentang makna dari sebuah kehidupan. Kehidupan yang Engkau ridhoi jika diisi dengan ketaqwaan dan amal sholeh yang selalu menyertai. Jika hamba Engkau itu masih ada di dunia ini, Ya Rabb, anugerahkan kepadanya selalu kehidupan yang menentramkan dan penuh kecukupan serta kenikmatan dalam beribadah kepada-Mu. Dan jika ia telah kembali kepada Mu, maka lapangkan kuburnya, dan hisab-lah ia dengan mudah atas seluruh amal sholehnya. Amin."

Ketika doa itu selesai diucapkan dengan air mata yang masih menggenang, hamba itu kembali teringat akan pertemuannya dengan bapak tua itu lebih dari 3 bulan yang lalu, dan bagaimana ia mendapatkan sebuah pelajaran akan sebuah 'philosofi gelas' dalam memahami arti sebuah kehidupan. Dan yang luar biasa adalah, ilmu itu bukanlah di dapat dari seorang professor dengan embel-embel gelar yang berderet mengiringi namanya, bukan pula dari seorang kyai dengan ribuan pengikut dan kesholehan yang terpancar diwajahnya, melainkan dari seorang pemulung sampah … yang dengan hidayah Allah SWT, ia sangat mengerti dan memahami makna yang tersurat dan tersirat dari sebuah kehidupan didunia ini, dan ia menjalaninya dengan baik serta penuh rasa syukur kepada Allah Yang Maha Pengatur akan segala sesuatunya.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku di akhirat nanti adalah orang yang akhlaknya paling baik. Dan orang yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya." Seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Tsa'balah r.a bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling jelek akhlaknya itu?" Nabi Muhammad SAW menjawab, "Yaitu orang yang paling banyak omongnya dan dibuat-buat, orang yang berlagak pintar serta orang yang sombong dan angkuh" (HR Ahmad dan Ath-Thabrani)

Ketahuilah semua yang kita ucapkan dan jangan ucapkan semua yang kita ketahui. Karena diam akan menyelamatkan kita… diam adalah emas. Tidak ada yang luput dari pengawasan Allah SWT. Semoga kita termasuk golongan yang diampuni dan diridhoi-NYA. Amin.

Rabu, 27 Oktober 2010

Mengapa membaca al Qur’an jika kita tidak mengerti dan memahami artinya?

Alkisah, hiduplah seorang muslim tua bersama seorang cucunya di sebuah pegunungan di bagian timur Kentucky, Amerika Serikat. Sang kakek biasa membaca Al Qur’an setiap hari selepas sholat shubuh. Sang cucu berusaha meniru setiap tingkah laku kakeknya.

Suatu hari, ia bertanya: “Kek! Aku berusaha membaca Al Qur’an seperti dirimu tetapi aku tidak mengerti isinya. Jikapun ada sedikit yang kupahami, ia akan terlupakan setiap kali aku menutup kitab itu. Lalu, apa gunanya aku membacanya?”

Dengan perlahan sang kakek membalikkan badan dan berhenti dari memasukkan batu bara ke dalam tungku pemasak. Ia menjawab: “Ambillah keranjang ini, bawalah ke sungai di bawah sana dan bawakan untukku sekeranjang air!”

Sang cucu membawa keranjang hitam penuh jelaga batu bara tersebut ke sungai dan mengambil air. Namun air itu telah habis menetes sebelum sampai ke rumah. Sang kakek tertawa dan meminta sang cucu agar mencobanya sekali lagi: “Mungkin engkau harus lebih cepat membawa airnya kemari.”

Sang cucu berusaha berlari, namun tetap saja air itu lebih cepat keluar dari keranjang sebelum sampai ke rumah. Dengan terengah-engah, ia pun mengatakan kepada sang kakek bahwa tidak mungkin mengambil air dengan keranjang. Sebagai gantinya ia akan mengambil air dengan ember.

“Aku tidak perlu satu ember air, yang kuinginkan adalah sekeranjang air!” jawab sang kakek. “Engkau saja yang kurang berusaha lebih keras,” timpal sang kakek sambil menyuruhnya mengambil air sekali lagi. Sang kakek pun pergi ke luar rumah untuk melihat usaha sang cucu.

Kali ini sang cucu sangat yakin bahwa tidak mungkin membawa air menggunakan keranjang. Namun ia berusaha memperlihatkan kepada sang kakek bahwa secepat apapun ia berlari, air itu akan habis keluar dari keranjang sebelum ia sampai ke rumah. Kejadian yang sama berulang. Sang cucu sampai kepada kakeknya dengan keranjang kosong. “Lihatlah Kek! Tidak ada gunanya membawa air dengan keranjang.” katanya.

“Jadi, kau pikir tidak ada gunanya?” sang kakek balik bertanya. “Lihatlah keranjang itu!” pinta sang kakek.

Ketika sang cucu memperhatikan keranjang itu sadarlah ia bahwa kini keranjang hitam itu telah bersih dari jelaga, baik bagian luar maupun dalamnya, dan terlihat seperti keranjang baru.

“Cucuku, demikianlah yang terjadi ketika engkau membaca al Qur’an. Engkau mungkin tidak mengerti atau tidak bisa mengingat apa yang engkau baca darinya. Namun ketika engkau membacanya, engkau akan dibersihkan dan mengalami perubahan, luar maupun dalam. Cucuku, itulah kekuasaan dan nikmat Allah kepada kita!”

The Beauty of a Woman

The beauty of a woman is not in the clothes she wears,
the figure that she carries,
or the way she combs her hair,
or the style she does her make-up.

The beauty of a woman must be seen in her Hijab, and her eyes,
because that is the doorway to her heart,
the place where love to ALLAH SWT resides.
The beauty of a woman is not in a facial mole,
but true beauty in a woman is reflected in her soul.
The beauty of woman is in her modesty,
and the real glamour of her is her honesty.

It is the caring that she lovingly gives,
and the passion that she shows.
And the beauty of a woman, with passing years - only grows!


Prayer (Dua): Channeling Brainwaves

DUA (prayer) is THE WEAPON OF THE BELIEVER (mu’min),” says RasulAllah SAW


Are we really aware why it is so important to practice “DUA?” What is “DUA” and what is it for? As there is no god-out-there, beyond yourself, then to Whom do you pray (practice dua)? Let us try to answer those questions honestly now...

Duais an action of directing brain waves!


Human, in respect to its “reality,” (haqiqat) is a content composed of Names that belonged to ALLAH... That is, human is like a formula composed of meanings that the Beautiful Names of ALLAH carry. To express it in a different way, ALLAH has rendered human as a caliph (khalifah) of Himself on earth by means of making him exist via the meanings of HU's (his) Beautiful Names.


After various transformations, those meanings of Names have been unfolded in the human brain in a form as it was ordained.


According to the statement (hukm) that You cannot will except by the will of ALLAH, your DUA (prayer) in reality is nothing but a wish belonging to ALLAH.


However, there is a SYSTEM and ORDER by ALLAH SWT, known as “sunnatAllah.” Here, such a wish originated from the Beautiful Names of ALLAH is sometimes revealed as a “DUAfrom within yourself. Although it is commonly believed under the influence materialistic view that people could communicate with each other only by the agency of their lips and ears, communication is, in fact, a interaction between brains. There are so many times that we sense, perceive such a relation but cannot explain it logically due to lack of knowledge. Your “intuition” is a result of your early perception of incoming waves...


DUA” arises from the Names of ALLAH (asma-uAllah) that is within your own essence and reveals as a wave directed for a purpose and reaches the aim. So, “DUA” is not a demand from a god outside yourself, but rather is a wish originated by ALLAH in your essence.


In another way of looking, “DUA” is the most powerful weapon for achieving your expectations. It is an appreciation of the power and potency belonging to “ALLAH” within your own essence.


You will pray, practice “dua,” so then you will direct the course of events, if that resided in your destiny. In fact, it is HU's (him) self who directs, not you!


The same way as the parasite signals are reduced when the earth's semi-sphere turned back on the sun and short wave reception becomes powerful, human brain also becomes more sensitive and most powerful especially during midnight at late hours. This is the case both for reception (inspiration) and transmission (dua- praying). The importance of night time is particularly due to this fact in the “Deen-i Islam.


People lacking the practice dua, will suffer the detriment of both the appreciation and the potencies within their own essence and also the benefits resulting from praying. DUA is an exercise of the power belonged to ALLAH within your own essence. The fact that RasulAllah SAW has prayed so often does not mean that he has asked for things from a god outside himself, but instead it shows that he has channeled the power and potency within himself that belongs to ALLAH, in the direction of his wishes.


The more a person's brain capability is powerful, the more one's prayers (dua) and brain transmission are effective... You broadcast all your thoughts over the earth to the degree that your brain power allows, not only at times when you are communicating, but while you are thinking as well. And those frequencies are received by other corresponding receptive brains and are assessed as intuition or inspiration. It is in that respect that some of the effectual (authoritative) spiritual people,” known as “irshad qutubs” in Sufism exercise power of disposal. What is known as reaching “enlightenment” (al fayz) is nothing other than a brain's assisted revelation after another powerful brain's transmission of directed waves.


In this chapter, we have tried to make you realize that “DUA” is one of the most effective tools in human's life. Let us know that “ALLAH will respond you from within yourself. HU's (he) being aware of everything in your mind, is a result of your being brought into existence through HU's own being and of HU's revealing those that income from HU through yourself.


Every person must continuously keep practicing “DUA,” and prayers at whatever spiritual state or level of awareness one is at, as RasulAllah SAW did. It will be known more clearly in the life beyond death that nothing would have brought better income than one's “DUA” and prayers.


May ALLAH SWT make us realize the importance of “DUA (prayer)”, appreciate it in our lifetimes as much as possible and therefore empower our “spirits.” And... May ALLAH make all these easy for us!