Tampilkan postingan dengan label kontribusi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kontribusi. Tampilkan semua postingan

Senin, 01 November 2010

Makna Kehidupan


"Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan oleh-Nya kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS At Taubah [9]:105)

Dalam setiap perjalanan pulang melewati sebuah jalan yang sama pada waktu yang sama pula, terlihat oleh hamba itu seorang bapak tua yang sedang menarik gerobak sampah. Salah satu kakinya sedikit cacat yang mengakibatkan ia harus berjalan tertatih-tatih. Dengan wajah yang tegar, ia berjalan sambil sesekali menyeka peluh yang membasahi wajahnya. Sesekali waktu, hamba itu berhenti sekedar ingin memberikan sejumput sedeqah kepadanya. Pak tua tersebut tersenyum dan memuji Rabb-nya Yang Maha Agung sambil merapatkan tangannya untuk berdoa.

Ia mengungkapkan betapa bersyukurnya dirinya. Ia masih dapat bekerja sebagai pemulung dan menghidupi keluarganya. Tak ada kata-kata "Walaupun Tidak Cukup" yang keluar dari lisannya. Ia seolah amat menikmati pekerjaannya itu. Kakinya terkena polio sejak kecil dan dengan kondisi itu ia tetap melangkahkan kakinya di jalanan Jakarta yang kadang begitu ganas dan tanpa kompromi bagi seorang pemulung seperti dirinya. Sepeda motor, bus kota ataupun mobil orang-orang berpunya, bisa saja menyambarnya sewaktu-waktu dan jika itu terjadi, maka harapan istri dan anak-anaknya untuk memperoleh nafkah melalui dirinya akan pudar seketika.

Kadang kita bertanya pada diri sendiri, sejauh apa kebahagian hidup itu dapat kita rasakan? Apakah ketika semua kebutuhan kita terpenuhi? Atau apakah saat semua keinginan kita sudah dapat diperoleh? Harta dan kekuasaan? Ataukah ketika kita dapat membahagiakan orang-orang yang kita sayangi? Terutama orang tua kita? Keluarga kita? Ataukah juga ketika kita dapat membantu orang lain disaat yang sempit ataupun lapang?

Setiap diri kita ingin selalu mengejar kebahagian hidup dengan versinya masing-masing. Ada yang merasa berhasil dan hidup sangat mapan untuk kemudian menjadi bosan dengan kehidupan itu sendiri. Ada yang terus mengejarnya tanpa pernah merasa berhasil bagai sebuah perlombaan lari yang tidak pernah mencapai garis akhir. Melelahkan dan akhirnya kehilangan kepercayaan diri. Tapi ada yang amat menarik, ketika seorang hamba merasa bahwa tempat hidupnya di dunia ini hanyalah sebuah proses seperti roda yang berputar. Kadang ada di bawah dan kadang ada di atas. Sebuah kehidupan yang sementara dan ia hanya menilai dari apa yang telah ia diperbuat dan bukan apa yang ia dapatkan. Niat selalu ia luruskan dan ikhtiar (proses) selalu ia sandarkan kepada Rabb-nya Yang Maha Agung. Ketika hasil yang ia peroleh melebihi apa yang ia angankan, ia bersyukur dan ketika hasil tidak sesuai dengan yang ia harapkan ia bersabar.

Seorang teman pernah bertanya, "Kenapa harus ada hisab kelak di akhirat? Bukankah Allah Maha Tahu apa yang telah kita lakukan?" Bukankah lebih baik bagi Allah untuk langsung memasukkan kita ke dalam surga atau neraka saja?" Hamba itu memberi penjelasan kepadanya dengan sebuah hadis Qudsi, "Janganlah engkau pernah bertanya apa yang Allah Perbuat" (HR Bukhari).

Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada yang bertanya, Hamba itu hanya memberi ilustrasi bahwa umur yang Allah Azza wa Jalla berikan kepada kita adalah ibarat gelas. Amal sholeh adalah ibarat air putih dan murni yang kita isi ke dalam gelas tersebut, sedangkan perbuatan dosa ibarat kotoran yang dapat mengeruhkan air yang ada digelas itu. Kelak di hari perhitungan (hisab), Allah Azza wa Jalla akan mempertontonkan kepada kita seberapa banyak gelas itu kita isi dengan air putih dan murni. Dan seberapa banyak kotoran yang membuatnya menjadi keruh. Bagi sebagian orang bukanlah lagi keruh yang didapatnya, melainkan kepekatan yang menjadikan gelasnya hanya berisi lumpur dengan air yang telah mengering.

Seseorang yang selalu mengisi gelas kehidupannya dengan air yang murni akan mengikis dan mengeluarkan segala kotoran yang pernah ada dalam gelas tersebut. Alangkah indahnya ketika kelak di hari perhitungan (hisab), kita melihat gelas kehidupan kita terisi oleh air yang bersih yang telihat amat menyenangkan mata. Hamba itu kembali berpesan kepada temannya, "Percayalah, hidup ini adalah proses. Kita bukan dinilai dari apa yang kita dapatkan atau apa yang luput dari kita, tetapi kita akan diminta pertanggungjawaban bagaimana kita melalui kehidupan ini."

Lebih dari tiga bulan sudah berlalu, hamba itu tidak pernah lagi melihat Bapak tua yang menarik gerobak sampah itu. Pada jalan yang sama dan pada waktu yang sama pula, wajahnya yang teduh tak pernah lagi terlihat. Kadang hamba itu harus memutar ke jalan yang sama dua sampai tiga kali. Tidak tahu kemana harus mencarinya dan kepada siapa harus bertanya tentangnya. Akhirnya hanya lantunan doa yang dapat hamba itu panjatkan, "Ya Rabb, Engkau telah mengajarkanku melalui seorang hamba-Mu yang amat sangat sederhana tentang makna dari sebuah kehidupan. Kehidupan yang Engkau ridhoi jika diisi dengan ketaqwaan dan amal sholeh yang selalu menyertai. Jika hamba Engkau itu masih ada di dunia ini, Ya Rabb, anugerahkan kepadanya selalu kehidupan yang menentramkan dan penuh kecukupan serta kenikmatan dalam beribadah kepada-Mu. Dan jika ia telah kembali kepada Mu, maka lapangkan kuburnya, dan hisab-lah ia dengan mudah atas seluruh amal sholehnya. Amin."

Ketika doa itu selesai diucapkan dengan air mata yang masih menggenang, hamba itu kembali teringat akan pertemuannya dengan bapak tua itu lebih dari 3 bulan yang lalu, dan bagaimana ia mendapatkan sebuah pelajaran akan sebuah 'philosofi gelas' dalam memahami arti sebuah kehidupan. Dan yang luar biasa adalah, ilmu itu bukanlah di dapat dari seorang professor dengan embel-embel gelar yang berderet mengiringi namanya, bukan pula dari seorang kyai dengan ribuan pengikut dan kesholehan yang terpancar diwajahnya, melainkan dari seorang pemulung sampah … yang dengan hidayah Allah SWT, ia sangat mengerti dan memahami makna yang tersurat dan tersirat dari sebuah kehidupan didunia ini, dan ia menjalaninya dengan baik serta penuh rasa syukur kepada Allah Yang Maha Pengatur akan segala sesuatunya.

Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku di akhirat nanti adalah orang yang akhlaknya paling baik. Dan orang yang paling aku benci dan yang paling jauh dariku di akhirat nanti adalah orang yang paling jelek akhlaknya." Seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Tsa'balah r.a bertanya, "Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling jelek akhlaknya itu?" Nabi Muhammad SAW menjawab, "Yaitu orang yang paling banyak omongnya dan dibuat-buat, orang yang berlagak pintar serta orang yang sombong dan angkuh" (HR Ahmad dan Ath-Thabrani)

Ketahuilah semua yang kita ucapkan dan jangan ucapkan semua yang kita ketahui. Karena diam akan menyelamatkan kita… diam adalah emas. Tidak ada yang luput dari pengawasan Allah SWT. Semoga kita termasuk golongan yang diampuni dan diridhoi-NYA. Amin.

Rabu, 27 Oktober 2010

Mengapa membaca al Qur’an jika kita tidak mengerti dan memahami artinya?

Alkisah, hiduplah seorang muslim tua bersama seorang cucunya di sebuah pegunungan di bagian timur Kentucky, Amerika Serikat. Sang kakek biasa membaca Al Qur’an setiap hari selepas sholat shubuh. Sang cucu berusaha meniru setiap tingkah laku kakeknya.

Suatu hari, ia bertanya: “Kek! Aku berusaha membaca Al Qur’an seperti dirimu tetapi aku tidak mengerti isinya. Jikapun ada sedikit yang kupahami, ia akan terlupakan setiap kali aku menutup kitab itu. Lalu, apa gunanya aku membacanya?”

Dengan perlahan sang kakek membalikkan badan dan berhenti dari memasukkan batu bara ke dalam tungku pemasak. Ia menjawab: “Ambillah keranjang ini, bawalah ke sungai di bawah sana dan bawakan untukku sekeranjang air!”

Sang cucu membawa keranjang hitam penuh jelaga batu bara tersebut ke sungai dan mengambil air. Namun air itu telah habis menetes sebelum sampai ke rumah. Sang kakek tertawa dan meminta sang cucu agar mencobanya sekali lagi: “Mungkin engkau harus lebih cepat membawa airnya kemari.”

Sang cucu berusaha berlari, namun tetap saja air itu lebih cepat keluar dari keranjang sebelum sampai ke rumah. Dengan terengah-engah, ia pun mengatakan kepada sang kakek bahwa tidak mungkin mengambil air dengan keranjang. Sebagai gantinya ia akan mengambil air dengan ember.

“Aku tidak perlu satu ember air, yang kuinginkan adalah sekeranjang air!” jawab sang kakek. “Engkau saja yang kurang berusaha lebih keras,” timpal sang kakek sambil menyuruhnya mengambil air sekali lagi. Sang kakek pun pergi ke luar rumah untuk melihat usaha sang cucu.

Kali ini sang cucu sangat yakin bahwa tidak mungkin membawa air menggunakan keranjang. Namun ia berusaha memperlihatkan kepada sang kakek bahwa secepat apapun ia berlari, air itu akan habis keluar dari keranjang sebelum ia sampai ke rumah. Kejadian yang sama berulang. Sang cucu sampai kepada kakeknya dengan keranjang kosong. “Lihatlah Kek! Tidak ada gunanya membawa air dengan keranjang.” katanya.

“Jadi, kau pikir tidak ada gunanya?” sang kakek balik bertanya. “Lihatlah keranjang itu!” pinta sang kakek.

Ketika sang cucu memperhatikan keranjang itu sadarlah ia bahwa kini keranjang hitam itu telah bersih dari jelaga, baik bagian luar maupun dalamnya, dan terlihat seperti keranjang baru.

“Cucuku, demikianlah yang terjadi ketika engkau membaca al Qur’an. Engkau mungkin tidak mengerti atau tidak bisa mengingat apa yang engkau baca darinya. Namun ketika engkau membacanya, engkau akan dibersihkan dan mengalami perubahan, luar maupun dalam. Cucuku, itulah kekuasaan dan nikmat Allah kepada kita!”

The Beauty of a Woman

The beauty of a woman is not in the clothes she wears,
the figure that she carries,
or the way she combs her hair,
or the style she does her make-up.

The beauty of a woman must be seen in her Hijab, and her eyes,
because that is the doorway to her heart,
the place where love to ALLAH SWT resides.
The beauty of a woman is not in a facial mole,
but true beauty in a woman is reflected in her soul.
The beauty of woman is in her modesty,
and the real glamour of her is her honesty.

It is the caring that she lovingly gives,
and the passion that she shows.
And the beauty of a woman, with passing years - only grows!